NIKAH SIRRI, BAGAIMANA SEHARUSNYA?

on Sabtu, 10 April 2010

oleh KH. Afifuddin Muhadjir, M.Ag

Akad nikah sebagai kontrak personal antara laki-laki dan perempuan untuk sehidup semati merupakan hal yang serius. Karena memiliki konotasi yang sangat serius yaitu tahlil dan tahrim dan berlangsung abadi sampai akherat selama tidak terjadi perceraian. Hal ini menuntut dilangsungkannya akad nikah. Nikah secara serius dan penuh tanggung jawab. Oleh karena itu para Fuqaha' selain Abu Hanifah mewajibkan keterlibatan wali perempuan yaitu ayahnya, kakeknya dan seterusnya dalam proses akad nikah. Disamping itu kehadiran dua orang saksi dalam proses akad nikah atau dipersaksikan dua orang saksi setelah akad nikah dan sebelum dukhul sebagaimana pendapat Imam Malik.

Dengan demikian, akad nikah yang memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas adalah sah syar'an. Saksi kemudian ada upaya untuk menyembunyikan. Dalam Madzhab Malik ada ketentuan tidak bolehnya ada upaya menyembunyikan akad nikah dengan cara mewanti-wanti saksi menyembunyikan nikah. Ini adalah salah satu bentuk dari nikah sirri.

Di banyak Negara diberlakukan aturan yang mewajibkan akad nikah untuk dicatat, dengan beberapa pertimbangan, menolak mafsadah dan mendatangkan maslahat yaitu melindungi hak, mengokohkan tanggung jawab, menghindari kecenderungan oknum masyarakat untuk menghindari dari tanggung jawab, menjamin masa-masa depan, memudahkan pembuktian hubungan nasab dan waris. Pernikahan yang tidak dicatat dalam istilah masyarakat Indonesia disebut nikah sirri. Aturan yang mewajibkan mencata akad nikah secara emplisit sesungguhnya menjadi aturan pelarangan nikah sirri. Sekarang pelarangan tersebut hendak ditegaskan dengan adanya RUU, Kementerian Agama.

Benarkah RUU tersebut bertentangan dengan syari'at ?

Sekelompok masyarakat menolak RUU itu dengan beberapa alasan.

1. kecemburuan tidak dilarangnya/hukumnya melakukan kumpul kebo yang secara syari'at jelas fahsyan dan munkar. Jangan-jangan ada maksud terselubung untuk lebih menyemarakkan perzinahan.

2. Ketimpangan-Kenapa tidak lebih dulu mempertegas pelarangan perzinahan sebelum pelarangan nikah sirri

3. Pelarangan nikah sirri dianggap bertentangan dengan syari'at. Benarkah demikian ?

untuk menjawab pelarangan ini ada dua pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dulu.

1. Bolehkah Negara melalui Qonun Wadl'iy (hokum positif) mewajibkan sesuatu yang menurut hokum syar'iy tidak wajib, seperti mencatat nikah?.

2. Bolehkah Negara melarang sesuatu yang menurut hokum syar'iy tidak dilarang seperti nikah sirri ?

Jawaban atas pertanyaan pertama adalah boleh apabila mengandung maslahat. Maslahat semacam ini dalam istilah ushul fiqh disebut dengan maslahah mursalah.

Jawaban atas pertanyaan kedua juga boleh, apabila perkara boleh seperti nikah sirri secara syar'iy boleh diyakini/diduga kuat potensial mendatangkan mafsadah. Pendekatan seperti ini dalam istilah ushul fiqh disebut saddu al-dzari'ah.

Ada contoh kasus yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua dalam menyikapi pelarangan nikah sirri. Yaitu larangan sayyidina Umar kepada Hudzaifah, melanjutkan hubungan nikahnya dengan perempuan Yahudi yang dinikahinya di Mada'in. Untuk menghilangkan keragu-raguan hudzaifah melakukan klarifikasi tidak langsung kepada Sayyidina Umar dengan sebuah pertanyaan " apa hal haram wahai Amirul Mukminin. Umar menjawab " oh..tidak tapi saya khawatir hal itu menjadi fitnah (persoalan bagi kalangan muslimat).

Memang tidak semua nikah sirri potensi mendatangkan mafsadah. Karena tidak sebagian mereka tidak mencatat nikahnya bukan lari dari tanggung jawab. Akan tetapi karena persoalan teknis atau karena kondisi ekonomi. Tidak terlalu sulit menyimpulkan antara membolehkan nikah sirri dengan alasan tersebut dan melakukannya karena kurang tanggung jawab.

Penulis adalah dosen ushul fiqh dan qawaid fiqh di Ma'had Aly Situbondo